Tanah Batak
adalah sebuah kawasan yang terletak di Sumatera bagian Utara, tempat kediaman
salah satu suku-bangsa Indonesia bernama: etnik Batak. Pada awalnya yang
dinamakan suku-bangsa Batak dan tempat mereka berada tidak jelas diketahui
orang, karena kebanyakan suku-suku bangsa di Indonesia ketika itu, sebelum
datangannya bangsa Eropa ke Asia Tenggara, belum menaruh perhatian pada
pebuatan catatan tentang: penduduk, keadaan alam, keragaman etnik, budaya,
adat-istiadat, dan lainnnya dalam perjalanan waktu. Pembuatan catatan keluarga masih
belum memperoleh perhatian para pendahulu untuk disuratkan, demikian pula
daerah tempat bermukim.
Kebanyakan
catatan dimiliki anak-bangsa masih tersimpan dalam ingatan, yang dapat
diperoleh secara lisan lewat bahasa setempat, pementasan budaya, hasil
kerajinan, dan lainnya. Begitu juga tentang tempat mereka berdiam di muka bumi
ini. Istilah yang kerap digunakan untuk menyatakan tempat kediaman mereka
ialah: “di hitaan”, yang artinya “di kita sana”; yang tidak banyak gunanya
untuk mereka yang membutuhkan tempat keberadaan di permukaan planet biru ini.
Istilah Tanah
Batak lalu berganti menjadi Tapanuli, setelah ditemukannya tempat pemandian:
“Tapian Na Uli” (Pantai Yang Indah) tidak jauh dari Sibolga disebelah utara
oleh para pedagang yang kerap berkunjung ke kawasan pesisir pantai barat pulau
Sumatera. Kunjungan para pedagang sehubungan dengan mendapatkan hasil bumi yang
banyak diperdagangkan kala itu. Nama Tanah Batak lalu beralih menjadi Tapanuli
sejak saat bersejarah itu.
Sebelum
kedatangan bangsa Eropa dari negeri Belanda ke Nusantara, di Tanah Batak telah
berdiri berbagai kerajaan Batak yang yang menguasai beragam luhat (
wilayah) yang dipimpin seorang Raja Panusunan Bulung (RPB). Didalam luhat-luhat
ini terdapat beragam kampung, besar dan kecik, dan yang telah mencapai
tahap Bona Bulu, juga dipimpin olenh setingkat Raja yang dinamakan: Raja
Pamusuk, langsung berada dibawah RPB luhat bersangkutan.
Tanah Batak
adalah sebuah kawasan terletak di Sumatera bagian Utara, tempat berdiam salah
satu suku-bangsa Indonesia bernama: Batak. Pada awalnya yang dinamakan
suku-bangsa Batak dan tempat mereka berdiam tidak jelas diketahui orang, karena
kebanyakan suku-suku bangsa di Indonesia ketika itu, sebelum kedatangan bangsa
Eropa ke Asia Tenggara, belum menaruh perhatian pada pebuatan catatan tentang:
penduduk, keadaan alam, keragaman etnik, budaya, adat-istiadat, dan lainnnya
dalam perjalanan waktu. Penulisan catatan tentang keluarga dan turunan pun
masih belum mendapat perhatian dari para pendahulu untuk dicatat, demikian juga
tentang daerah tempat berdiam.
Kebanyakan
catatan dimiliki warga masih terekam dalam ingatan, yang dapat diperoleh secara
lisan lewat bahasa setempat, pementasan budaya, hasil kerajinan, dan lainnya.
Begitu juga tentang tempat mereka berdiam di muka bumi ini. Istilah yang kerap
digunakan untuk menyatakan tempat kediaman mereka ialah: “di hitaan”, yang
artinya “di kita sana”; yang tidak banyak gunanya untuk mereka yang membutuhkan
tempat keberadaan di permukaan planet biru ini.
Istilah Tanah
Batak lalu berganti menjadi Tapanuli, setelah ditemukannya tempat pemandian:
“Tapian Na Uli” (Pantai Yang Indah) tidak jauh dari Sibolga disebelah utara
oleh para pedagang yang kerap berkunjung ke kawasan pesisir pantai barat pulau
Sumatera. Kunjungan para pedagang sehubungan dengan mendapatkan hasil bumi yang
banyak diperdagangkan kala itu. Nama Tanah Batak lalu beralihi menjadi Tapanuli
sejak saat bersejarah itu.
Sebelum
kedatangan bangsa Eropa dari negeri Belanda ke Nusantara, di Tanah Batak telah
berdiri berbagai kerajaan Batak yang yang menguasai beragam luhat (
wilayah) yang dipimpin seorang Raja Panusunan Bulung (RPB). Didalam luhat-luhat
ini terdapat beragam kampung, besar dan kecik, dan yang telah mencapai
tahap Bona Bulu, juga dipimpin olenh setingkat Raja yang dinamakan: Raja
Pamusuk, langsung berada dibawah RPB luhat bersangkutan.
Setiap kerajaan
di Tanah Batak ini memiliki pemerintahan sendiri yang bersifat otonom. Mereka
belum mengenal kehadiran pemerintah pusat yang mengatur dan mempengaruhi
kerajaan dari luar, dan kehidupan masyarakat masih berjalan menurut adat
istiadat setempat. Pemerintahan menurut Adat Batak di Tapanuli telah
berlangsung dalam bilangan abad yang diwariskan secara turun-temurun.
Diantara berbagai
luhat yang terdapat di wilayah Tapanuli Selatan ketika itu yang masih dapat
dikenali saat ini, dapat dikemukakan: Luhat Sipirok, Luhat Angkola, Luhat
Marancar, Luhat Padang Bolak, Luhat Barumun, Luhat Mandailing, Luhat Batang
Natal, Luhat Natal, Luhat Sipiongot dan Luhat Pakantan. Luhat, mereka sebut
juga Banua, kala itu masih merupakan tempat kediaman kelompok kekerabatan latar
belakang kahanggi atau persaudaraan (genealogi); yakni tempat kediaman
kelompok-kelompok masyarakat yang dapat dikatakan masih seketurunan yang
mendiami daerah yang luas. Pemerintahan luhat dijalankan menurut adat Batak
sesuai ajaran kekerabatan Dalihan Na Tolu (DNT), atau Tungku Yang Tiga (TYT),
yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Batak, dan dipimpin Raja Panusunan
Bulung, yang bermakana sang penyusun daun.
RPB dipilih dari
antara Raja Pamusuk yang terdapat dalam luhat, khususnya dari kalangan mereka
turunan Sisuan Haruaya (Sipenanam Beringin) dalam Luhat dibicarakan, lalu lewat
suatu upacara adat dinobatkan menjadi RPB yang memimpin luhat. Dalam
menjalankan tugasnya, RPB dibantu Raja Pangondian, yang juga dipilih dari
antara para Raja yang ada dalam luhat dibicarakan. Selain sebagai Kepala
Pemerintahan, RPB juga menjadi Kepala Adat atau Raja Adat dalam luhat
bersangkutan dan memimpin berbagai macam acara, mulai keagamaan sejalan adat
Batak hingga beragam perhelatan warga dalam daerah kekuasaannya. RPB lalu
memperoleh gelar: “Haruaya Parsilaungan” (Pohon Beringin Tempat Bernaung); di
daerah Angkola dinamakan “Banir Parkolipkolipan”, sedangkan di daerah Mandailing
disebut “Banir Parondingondingan”, yang artinya tempat warga yang ada dalam
kekuasaannya berlindung/bernaung.
Meski
pemerintahan dalam luhat masih bercorak oligaki, artinya dilaksanakan oleh
segelintir orang, namun warna demokrasi juga ditunjukkan dengan adanya
Lembaga Hatobangon (Lembaga Tetua) guna mendampingi RPB, sehingga berbagai
kelompok yang terdapat dalam masyarakat memmpunyai para wakil untuk
menyampaikan kepentingan golongan. Selain berdiri sendiri, luhat yang banyak
jumlahnya, tidak seragam luasnya, dan berjauhan letaknya ketika itu, masih
saling menghargai satu sama lain karena sederajat. Tidak ada kekuasaan apapun
yang lebih tinggi berada di atas mereka saat itu yang dapat mencampuri urusan
pemerintahan dalam luhat masing-masing.
RPB di Tanah
Batak awalnya datang dari keluarga-keluarga Sisuan Haruaya luhat bersangkutan.
Luhat lalu berkembang menjadi tempat berhimpun banyak huta (kampung) yang telah
berdiri, dan yang disebut terdahulu bertugas menaungi yang disebut terakhir.
Sebuah huta yang telah mampu memenuhi kebutuhan sendiri hingga dapat berdiri
sendiri, dapat diresmikan menjadi Bona Bulu (Pohon Bambu). Dahulu setiap huta
atau kampung akan diresmikan menjadi Bona Bulu, apabila telah memenuhi
sedikitnya syarat berikut: 1. Telah mempunyai penduduk sedikitnya tiga keluarga
Dalihan Na Tolu, yakni: Kahanggi, Anakboru, dan Mora. 2. Telah terdapat lahan
bercocok tanam berikut sawah berpengairan untuk menanam padi. 3. Telah
terdapat pemerintahan yang dapat menyelenggarakan tertib umum dan mendatangkan
kemajuan serta kesejahteraan terhadap warga masyarakatnya. 4. Dan, yang tidak
kalah penting keberadaannya diakui oleh semua kampung yang mengitarinya.
Kampung-kampung
yang dipungka warganya dalam luhat, lalu satu per satu beralih menjadi Bona
Bulu manakala telah dapat menyediakan berbagai keperluan sebagaimana yang
telah diatur dalam adat Batak. Untuk meresmikan huta menjadi Bona Bulu, perlu
dilaksanakan horja godang (pesta besar) menyembelih hewan adat bernama:
nabontar (kerbau) dan lainnya. Puncak acara peresmian huta menjadi Bona Bulu
berlangsung ketika RPB luhat bersangkutan manabalkon (mengukuhkan) nama
keluarga Sipungka Huta (Sipendiri Kampung) menjadi Raja Pamusuk di kampung yang
baru diresmikan dan menyebutkan gelarnya.
Dalam meresmikan
Bona Bulu, RPB didampingi oleh para petinggi kampung, dan pada saat yang sama
ia juga mengumumkan susunan pemerintahan. Peresmian Bona Bulu disaksikan pula
oleh utusan dari huta torbing balok (kampung yang mengitari) yang memperoleh
undangan. Acara kemudian dilanjutkan dengan pidato Raja Sipungka Huta yang
memberitahuka bahwa Bona Bulu yang baru berdiri menjadi kampung asal “Marga H”
yang mendirikannya. Raja Pamusuk lalu menanam bambu duri diiringi
istrinya menanam pandan, anakborunya menanam biji jagung dalam banjaran,
disusul moranya menyemai butir-butir padi.
Kampung yang
baru diresmikan dinamakan Bona Bulu, artinya Rumpun Bambu, karena pada zaman
dahulu huta dalam luhat tempat kediaman warga memang dipagari pohon bambu duri
untuk melindungi mereka dari musuh datang dari luar yang menyerang. Selain
pagar pohon bambu yang mengitari, masih ada lagi pagar bambu anyam tersusun
rapat melapisi agar kampung itu tidak dapat dimasuki orang dari luar, kecuali
lewat pintu gerbang yang dikawal perajurit hundangan podang (bersenjatakan
pedang).
Kampung-kampung
yang belum berstatus Bona Bulu, dan keperluannya masih tergantung bantuan
kampung lain, disebut pagaran, atau anak kampung. Terdapat banyak pagaran
yang baru berdiri dan bernaung dibawah Bona Bulu di banyak luhat sebelum bangsa
Belanda masuk ke Tapanuli Selatan untuk pertama kalinya, dan siap
berkembang menjadi Bona Bulu. Huta selain tempat berdiam, juga kawasan tempat
mencari nafkah dan kebutuhan warga lainnya. Huta dengan demikian tidak semata
sebagai tempat berdiam, tetapi pula lahan tempat warga mencari nafkah, mulai:
belukar, ladang, sawah, hingga perairan (telaga, sungai, dan laut). Hutan,
lembah, dan gunung dimana beragam keperluan lainnya ditemukan, diatur
pelaksanaannya oleh warga luat bersama RPB.
Pucuk pimpinan
huta ialah Raja Pamusuk (RP), awalnya datang dari keluarga-keluarga Sisuan Bulu
(Penanam Bambu) kampung tempat mereka berdiam. Huta yang banyak penduduknya
karena subur tanahnya kaya lingkungan alamnya, juga dipimpin RP, akan tetapi ia
dibantu Kepala Ripe (KR) dalam menjalankan pemerintahan kampung dalam
menegakkan tertib umum guna mensejahterakan kehidupan masyarakat. Seorang Raja,
baik RPB maupun RP, yang ada dalam masyarakat Batak sebelum kedatangan bangsa
Belanda dari Eropa, bukanlah manusia ternama sebagaimana yang ditemukan dalam
buku-buku sejarah Eropa di zaman feodal yang dipelajari siswa di sekolah
menegah pertama, tetapi adalah seorang bijak yang dituakan diantara para tetua
luat atau tetua huta; tepatnya seorang yang terbaik diantara mereka (primus
interpares) datang dari keluarga-keluarga pendiri huta atau luhat yang
benar-benar dikenal bijaksana oleh warga masyarakat.
Kedatangan orang
Belanda ke Tanah Batak, berawal dari berdirinya "Verenigde Oost Indische
Compagnis (VOC)", atau Kompeni Hindia Timur (KHT), di benua Eropa tahun
1602. KHT lalu berlayar mencari rempah-rempah ke Asia Tenggara untuk berdagang
lalu tiba di nusantara. Dalam perjalanan waktu KHT berhasil memperoleh tanah
pijakan di tanah-air untuk berniaga. Dari mendapat tanah pijakan KHT lalu
mendapat tanah jajahan, dan yang disebut terakhir semakin meluas sehingga
Pemerintah Belanda di Den Haag perlu mengangkat Pieter Booth menjadi wakil
pemerintah Belanda di tanah jajahannya bernama: Gouverneur-Generaal van Oost
Indie (Gubernur-Jenderal dari Hindia Timur) pertama pada tahun 1610, untuk
mewakili kepentingan Kerajaan Belanda di seberang lautan yang berada di Asia
Tenggara.
Awalnya KHT
singgah di sejumlah tempat pesisir Barat pulau Sumatera lalu mendiami
kota-kota: Singkil, Sibolga, Poncan, Barus, Singkuang, Natal, dan lainnya. Pada
tahun 1808, Negeri Belanda diduduki Perancis yang dipimpin Napoleon Bonaparte
(1769-1821). Sebagai akibatnya, Negeri Belanda berikut seluruh tanah jajahan
seberang lautan di Hindia Timur diserahkan Kaisar kepada adiknya Lodewijk
Napoleon. Setelah Napoleon Bonaparte ditaklukkan dalam pertempuran di Waterloo
Belgia pada tahun 1811, pemerintah baru di Perancis lalu memerdekakan Belanda,
dan mengembalikan tanah jajahan Hindia Timur kepada pemiliknya. Akan tetapi,
pada tahun yang sama Inggris merampas tanah jajahan itu dari tangan Belanda.
Pada tahun
1812 Inggris dan Belanda sepakat melakukan pertukaran sebagian tanah jajahan mereka
di Hindia Timur. Pulau Singapura yang pada saat itu milik KHT diberikan Belanda
kepada Inggris untuk ditukar dengan Natal dan Bengkulu. Inggris lalu menjajah
Tanah Batak hingga tahun 1825, kemudian sesuai perjanjian London harus
mengembalikan Tanah Batak kepada Belanda, termasuk bagian Tanah Batak yang sudah
dibagi dua, masing-masing dinamakan: Padang Hilir dan Padang Darat. Selama penjajahan Inggris yang 14 tahun lamanya,
tidak terdengar khabat tentang Tanah Batak, kecuali upaya penyebaran agama
Nasrani aliran Anglikan yang dilaksanaukan pendeta Burton dari Inggris di
Sibolga pada tahun 1824 yang tidak menunjukkan kemajuan.
Sebelum
menjadi bagian tanah jajahan Belanda di Hindia Timur, Inggris telah sejak tahun
1808 berada di Natal, kala itu masih meduduki Bengkulu yang berada di bagian selatan
pulau Sumatera. Meski Natal adalah nama yang diberikan Inggris, namun pelabuhan
samudera Hindia di pantai barat pulau Sumatera itu telah sejak lama dising-gahi
kapal-kapal dagang Internasional. Adapun peninggalan Inggris yang masih dapat
di-jumpai di Natal hingga kin ialah: benteng, meriam, dan tempat pemakaman orang-orang
kulit putih.
Kemudian dari
perolehan Muktamar Wina di Switzerland tahun 1839, disepakati pula sebuah keputusan
yang mengharuskan Belanda dan Belgia bergabung kedalam sebuah perserikatan yang
dinamakan “uni”. Sebagai akibatnya, tanah jajahan Hindia Timur harus dibagi
dua, sesuai corak agama yang dianut setiap negara yang bergabung kedalam uni. Itulah
sebabnya mengapa sejak saat itu terdapat dua orang Gubernur-Jenderal yang me-merintah
Kompeni di Hindia Timur saat itu, yakni: van der Canpellen dari negeri Belanda beragama Protestan dan de Kock dari negeri Belgia
yang beragama Katholik Roma.
Agama yang
dianut suku-bangsa Batak masih merupakan kepercayaan asli, yang menyatakan segala
benda, baik yang hidup maupun mati, memiliki ruh-baik dan ruh-buruk., yang oleh para ilmuan Barat dinamakan animisme.
Dari animisme, menurut ilmuan tadi, kepercayaan suku-bangsa Batak lalu berkembang
menjadi dinamisme, yang mengatakan bahwa segala benda, baik yang hidup maupun
yang mati, menguasai sifat luar biasa oleh perbuatan yang dilakukannya. Perbuatan
akan dikatakan suci apabila baik sifatnya, dan disebut Manna. Orang-orang yang
pandai Manna dinamakan Datu (Dukun), karena menguasai beragam ilmu ghaib yang dapat dipindahkan kepada
orang lain, yang menyebabkan penerimanya
mudah disayangi orang yang belum dikenal, kebal badannya, pandai meramal nasib,
memiliki kesaktian tolak bala, dan lainnya.
Kedatangan
agama Hindu ke Tanah Batak sekitar abad ke-11 Masehi, menyebabkan ajaran animisme
dan dinamisme berpindah ke pedalaman. Para penyebar agama Hindu lalu mend-rikan
Vihara yang menjadi tempat peribadatan mereka sekaligus pusat pendidikan agama
Hindu. Para pendeta Hindu lalu menjadi para pengajar agama di Vihara-vihara yang
mengajarkan agama Hindu dan bermacam pentahuan, ilmu kesaktian, mantra ghaib
dan lainnya kepada warga masyarakat di Tanah Batak.
Gelombang pertama agama Islam datang
ke Nusantara dibawa oleh para pedagang Arab dan India yang kerap berkunjung ke
Aceh, diperkirakan berawal pada abad ke-13. Sebagian dari mereka mengunjungi
beragam tempat di pesisir Barat pulau Sumatera hingga Natal. Ada pula yang meneruskan
perjalanan hingga ke Sumatera Barat yang terletak lebih ke Selatan. Pendatang penyebar
agama ini kemudian mendirikan Mesjid, Langgar, dan Surau, untuk tempat beribadah
sekaligus menjadikannya pusat-pusat pengajaran agama Islam dan syiarnya. Para ulama
asal Timur Tengah ini mengajarkan monotheisme, yakni tentang Tuhan Yang Maha
Esa bernama Allah, yang menurunkan kitab suci Al’Quran ‘ul Karim lewat RasulNya
bernama Muhammad.
Gelombang kedua agama Islam
masuk ke Tanah Batak dari Selatan bersama kaum Padri yang menyerbu dari
Sumatera Barat tahun 1825. Inilah saat bersejarah bagi suku bangsa Batak yang awalnya
percaya kepada Yang Banyak, lalu beralih
beriman kepada hanya Yang Tunggal. Agama
Nasrani lalu menyusul masuk ke Tanah Batak bersama pemerintah Hindia Belanda dan
kaum Missionaris. Gereja-gereja pun mereka dirikan dimana-mana tempat beribadah
sekaligus pusat-pusat pengajaran agama Nasrani; diawali Pakantan di Mandailing, lalu ke Parau Sorat
di Sipirok, dan dilanjutkan ke seputar danau Toba. Sekolah Zending pertama di
Tanah Batak didirikan di Pakantan tahun 1937, untuk menjadi pusat pengajaran
agama Nasrani aliran Protestan. Sekolah Zending lainnya berikutnya didirikan di
Sipirok dan tempat-tempat lainnya.
Kaum Paderi menyerbu Tanah Batak dari tahun
1825 hingga 1829 dari benteng Bonjol untuk memaksa penduduk di kawasan itu memeluk
agama Islam. Lalu pada tahun 1830, menyusul
gelombang kedua serangan kaum Paderi yang pimpinan Tongku Rao dan Tongku
Tambusai untuk mengislamkan penduduk Tanah Batak hingga mencapai tepian danau
Toba. Serdadu-serdadu lalu didatangkan Belnda dari Padang untuk memerangi kaum
Paderi untuk menaklukkan mereka di Batusangkar. Belanda lalu mendirikan benteng
Fort van der Capellen di kota itu guna memperlihatkan keberhasilannya.
Lalu pada
tahun 1833 serdadu-serdadu Belanda masuk ke Tanah Batak untuk pertama kalinya, juga dari selatan melalui Rao
di Mandailing, masih dalam berkecamuknya Perang Paderi. Belanda menemukan para Raja
di Tanah Batak dan rakyat mereka tidak
menyukai kaum Paderi mengislamkan masyarakat Mandailing dan Angkola dengan cara
kekerasan. Setelah masuk ke Mandailaing, Belanda kemudian mendirikan benteng
Fort Elout di Panyabungan guna menunjukkan kehadirannya di Tanah Batak.
Dalam
suasana Perang Paderi yang masih kacau balau, Belanda mendapat sedikit hambatan
masuk ke Tanah Batak dari selatan, bahkan memperoleh bantuan dari sebagian Raja
setempat untuk menghalau Kaum Padri keluar dari Mandailing dan Angkola. Di Mandaiing
Belanda dibantu Raja Gadombang menghalau pasukan Tuongku Tambusai dari Huta Nagodang,
menyebabkan hubungan Raja dengan rakyatnya pulih kembali. Perlawanan terhadap
Kaum Paderi pimpinan Tuongku Tambusai juga muncul di: Barumun, Sosa, Padang
Bolak, Angkola Dolok, bahkan hingga ke Bangkara. Raja Po-dang dari Sunggam,
Raja Bange, Raja Horlang, dan Raja Buaton bersama-sama meberi perlawanan sengit kepada sisa-sisa kaum
Paderi, hingga dalam waktu 8 tahun, para pendatang dari selatan yang tidak disenangi
itu dihalau keluar meninggalkan Tanah Batak.
Pada tahun
1834 Belanda memulai pemerintahan sipil di Tanah Batak, diawali dari selatan dengan
mendirikan Onderafdeeling Mandailing dibawah Controleur Doues Dekker, juga
dikenal dengan Multatul yang berkedudukan di Natal. Pemerintahan sipil Hindia
Belanda ini lalu dipindahkan ke Panyabungan, yang ditingkatkan menjadi
Afdeeling Mandailing dan Angkola dipimpin Asistent Resident T..J. Willer, dalam
koordinasi Generaal Michiels, Gouverneur van Sumatra Westkust (Gubernur Pantai
Barat Sumatera) berkedudukan di Sibolga.
Kemudian asistent
Resident T. J. Willer digahtikan Alexander Philippus Godon; dan yang akhir ini
bersama: Sutan Kumala, gelar Yang Dipertuan Hutasiantar, marga Nasuion dari
Mandailing, melaksanakan pembangunan infrastruktur ekonomi berupa jalan-raya yang
menghubungkan Panyabungan dengan Natal dan lainnya selama 9 tahun (1847-1856) dan
berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Tanah Batak bagian selatan.
Awalnya
pemerintah Hindia Belanda member nama Afdeeling Batak Landen untuk daerah yang berada
disekitar danau Toba dan menjadikan Tarutung sebagai ibukotanya. Lainnya dinamakannya:
Afdeeling Padang Sidempuan untuk daerah Tapanuli Selatan, dan Afdeeling Sibolga
untuk daerah Tapanuli Tangah. Penggabungan ketiga Afdeeling menjadi “Keresidenan
Tapanuli” dalam lingkungan pemerintah Hindia Belanda baru berlangsung setelah
Ethnoloog (Ethnologist) kebangsaan Belanda, seorang ahli bangsa dan suku-sukunya
menemukan adanya kesatuan bahasa (logat), adat-istiadat yang menonjol; begitu pula
kepercayaan, perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dalam kawasan yang luas itu. Keadaan alam
yang memudahkan perhubungan, kekerabatan, dan adat perkawinan turut menyumbang pada
penarikan kesimpulan. Pemerintah Hindia Belanda lalu menggolongkan suku-bangsa
Batak yang mendiami daratan pulau Sumatera menurut logat kedalam sejumlah puak,
masing-masing: Karo, Simalungun, Pakpak, Dairi, Toba, Angkola, dan Mandailing.
Dari hasil penelitian
ethnoloog Belanda itu orang mengetahui adanya keanekaragaman etnik (puak)
berdiam di Tanah Batak berbilang abad lamanya, yang sebelumya tidak mereka
sadari. Keanekaragaman puak juga terdapat pada suku-suku bangsa Indonesia lain
pada umumnya. Puak-puak dalam suku-bsngsa Batak lalu menjadi bagian dari “Ethnologi
Batak”, yakni pengetahuan tentang keragaman penduduk adat-istiadat dan budaya lingkungan
suku-bangsa Batak.
Menurut keteranagan Prof. Dr. Guntur Tarigan, terdapat
3 (tiga) rumpun bahasa Batak yang digunakan masyarakat dalam kehidupan mereka sehari-hari,
masing-masing:
1. Rumpun Utara :
Bahasa Karo, Bahasa Dairi, dan Bahasa Alas.
2. Rumpun Tengah :
Bahasa Simalungun.
3. Rumpun
Selatan : Bahasa Toba, Bahasa
Angkola, dan Bahasa Mandailing.
Pada tahun
1867 seluruh Tanah Batak masih menjadi bagian dari pemerintahl Hindia Belanda yang
berkedudukan di Padang, Sumatera Barat, dan Residen yang berada di Padang
Sidempuan. Sejak tahun 1906, Tanah Batak lalu memisahkan diri dari Sumatera
Barat, dan membentuk Keresidenan berdiri sendiri dengan Residen yang berkedudukan
di Sibolga. Dan ini menjadi awal dari diperkenalkannya sistim pemerintahan
sentralistik (terpusat) terhadap Tanah Batak oleh bangsa Belanda.
Pemerintah
Hindia Belanda, lalu membagi Tanah Batak, yang selanjutnya dinamakan Tapanuli, kedalam
7 (tujuh) tingkatan: Pada jenjang pertama tertinggi dari semuanya, ialah
seorang Resident (Residen), pejabat pemerintah Hindia Belanda yang memimpin Keresidenan
Tapanuli. Pada tingkat kedua, Keresidenan Tapanuli lalu dibagi menjadi dua
Afdeeling, masing-masing: Afdeeling Tapanuli Utara dan Afdeeling Tapanuli
Selatan, dan setiap darinya dipimpin seorang Asistent Resident. Sebuah Afdeeling
dalam zaman pemerintah Hindia Belanda adalah wilayah setingkat Kabupaten di
Jawa Tengah saat ini, dipimpin seorang Bupati. Afdeeling Tapanuli Utara dipimpin
seorang Asistent Resident berkedudukan di Tarutung, sedangkan Afdeeling
Tapanuli Selatan dipimpin seorang Asistent Resident berkedudukan di Padang
Sidempuan.
Pada tingkat
ketiga, Afdeeling dibagi lagi menjadi 8 (delapan) Onderafdeeling (setara
kecamatan) dipimpin seorang Controleur (setingkat Camat). Di Tapanuli Selatan ketika
itu Controleur terdapat di: Batang Toru, Angkola, Sipirok, Padang Bolak,
Barumun, Mandailing, Ulu dan Pakantan, dan Natal. Pada tingkat keempat,
dibawah Onder-afdeeling, sejak tahun 1916, pemerintah Hindia Belanda
memperkenalkan District (setara Kewedanaan), dipimpin seorang Demang. Pada tingkat
kelima, dibawah District pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan pula Onderdistrict
(Pembantu Kewedanaan) dipimpin seorang Asistent Demang. Pada tingkat keenam, dibawah
Onderdistrict pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan Hakuriaan yang dikepalai
seorang Kepala Kuria guna menaungi beragam Huta, atau Bona Bulu.
Kata Hakuriaan
berasal dari kata “Curia”, sebuah istilah sistim pemerintahan dalam Gereja Katholik
Roma di Vatican, Italia. Pemerintah Hindia Belanda lalu memper-kenalkan kata ini
ke Tanah Batak. Dari Curia, muncul “Kuria”, lalu istilah berawalan dan berakhiran:
“Ha-Kuria-an”, kemudian “Hakuriaan”. Istilah buatan pemerintah Hindia Belanda ini
diperlukan untuk mengganti kata Luhat atau Banua yang telah dikenal luas
suku-bangsa Batak sebagai sebuah wilayah pemerintahan menurut adat Batak sebelum
kedatangan bangsa Belanda, dipimpin Raja Panusunan Bulung (RPB) sejalan Adat
Batak.
Luhat atau
Banua yang dipimpin Raja Panusunan Bulung ini ingin dilenyapkan pe-merintah
Hindia Belanda dari perbendaharaan bahas anak bangsa di Tanah Batak, untuk ditukar
dengan Hakuriaan yang dipimpin seorang Kepala Kuria, untuk memperkenalkan yang
baru dan meninggalkan yang lama kebanggaan anak bangsa warisan dari nenek
moyang. Langkah ini menjadi bagian dari usaha pemerintah Hindia Belanda bidang
budaya untuk melakukan cuci otak (brain washing) terhadap anak jajahannya.
Pada tingkat
ketujuh, dan yang terakhir, dibawah Hakuriaan, pemerintah Hindia Belanda
menempatkan Kampong yang diambil dari bahasa Melayu untuk menggantikan Huta
atau Bona Bulu beserta sawah ladang yang mengitari, dan dipimpin seorang “Kampong
Hoofd” (Kepala Kampung). Dengan cara ini istilah Raja Pamusuk yang memimpin
sebuah Huta atau Bona Bulu kebanggan anak bangsa selama ini di Tanah Batak
dengan sengaja ingin dilenyapkan penjajah.
Adapun
ketentuan selanjutnya yang diberlakukan pemerintah Hindia Belanda di Tanah
Batak ialah, jabatan: Resident, Asistent Resident, dan Controleur hanya boleh diemban
orang-orang berkebangsaan Belanda, sedangkan jabatan tingkatan: Demang,
Asistent Demang, Kepala Kuria, dan Kampong Hoofd, diserahkan kepada anak-anak negeri
putra pribumi di Tanah Batak untuk diperebutkan dalam pemilihan umum berkala.
Pemerintah
Hindia Belanda dengan sengaja tidak membuat aturan yang jelas tentang jumlah Onderdistrict
dalam satu District; begitu pula ketentuan yang mengatur hal lainnya. Demikian juga banyaknya Hakuriaan yang
beradat dalam satu Onderdistrict, seterusnya
jumlah kampung dalam satu Hakuriaan. Seluruhnya terpulang pada kebijakan Asisten
Residen dan Controleur yang memainkan percaturan politik ‘Divide et Impera’ sistim pemerintahan Hindia Belanda yang
kolonian menjalankan pemerintahan pada ketika itu.
Kepala Kuria
yang diangkat pemerintah Hindia Belanda oleh masyarakat di Mandailing dinamakan: Raja Undang,
sedangkan yang diangkat oleh masyarakat sesuai Adat Batak dinamakan: Raja
Adat. Pemerintah kolonial Hindia Belanda tidak segan-segan menganjurkan kepada
masyarakat agar Raja Undang juga dapat diterima sebagai Raja Adat, akan tetapi anjuran
tersebut selalu ditolak masyarakat setempat.
Dalam
perubahan cepat yang berlangsung di Tanah Batak, pemerintah Hindia Belanda dengan
sengaja mengacaukan pelaksanaan Adat Batak yang sudah berjalan turun-temurun guna
memperlihatkan kekuasaannya. Ada Raja Pamusuk suatu Huta yang begitu saja diangkat
menjadi Kepala Kuria, dan ada pula Raja Panusunan di Mandailing memimpin sebuah Luat dengan semenamena
diturunkan menjadi Kampong Hoofd. Batas-batas Hakuriaan dan Huta yang berlaku
secara tradisionil juga tidak luput dari campur tangan permainan kekuasaan pemerintah
Hindia Belanda untuk mengubah yang telah ada dan berjalan lama, diubah untuk
mempamerkan kekuasaan. Begitulah, pada tahun 1921 pemerintah Hindia Belanda
menggabungkan Hakuriaan Singengu dengan Hakuriaan Sayurmaincat dipimpin Kepala
Kuria Singengu, yang tidak menimbulkan keresahan
masyarakat saat itu.
Tampaknya
ada kesan pemerintah Hindia Belanda tidak ingin mencampuri urusan pemerintahan Huta
di Bona Bulu, kala itu masih berjalan menurut Adat Batak setempat. Akan tetapi dalam
kenyataannya Belanda tidak segan-segan mencampuri pemilihan Raja Pamusuk di sebuah
Huta, atau Kampung. Pemerintah Hindia Belanda tidak jarang terlibat mencipakan iklim
perebutan jabatan diantara anak-anak pribumi dari kalangan keturunan Raja-raja di
Tanah Batak, sebagai pelaksanaan politik pecah belah dan kuasai yang beraroma
demokrasi guna mengamankan singgasana kekuasaan di tanah jajahan.
Dalam
menjalankan kekuasaan yang menyangkut tertib umum, pemerintah Hindia Belanda di
Tanah Batak memperkenalkan badan keamanan umum bernama “politie (polisi)” di
setiap Onderdistrict (Kewedanaan) dibantu Pengadilan tingkat District bernama Magistraat.
Pada tingkat Hakuriaan ketertiban umum dijalankan oleh seorang Hulubalang.
Guna
menghemat anggaran belanja pemerintah tanah jajahan yang semakin merosot
pendapatnnya menjelang berkobarnya Perang Asia Timur Raya, pemerintah Hindia
Belanda di Tapanuli menyusutkan bilangan onderafdeling yang terdapat di Tapanuli
Selatan ketika itu dengan mengelompokkan yang berdekatan, hingga akhirnya tinggal
4 (empat) buah onderafdeeling, yakni:
1.
Onderafdeeling Angkola en Sipirok (Angkola dan
Sipirok).
2.
Onderafdeeling Padang Lawas
3.
Onderafdeeling Groot en Klein Mandailing, Oeloe en
Pakantan
(Mandailing Besar dan Kecil, Ulu dan
Pakantan), dan
4.
Onderafdeeling Natal en Batang Natal (Natal dan Batang
Natal).
Dan
menjelang Belanda bertekuk lututnya pemerintah Hindia Belanda kepada serdadu-serdadu
Fascist Jepang, pemerintah Hindia Belanda lalu menciutkan kembali keempat
Onderafdeeling menjadi tinggal 3 (tiga) onderafdeeling, yaitu:
1.
Onderafdeeling Angkola en Sipirok (Angkola dan
Sipirok),
2.
Onderafdeeling Padang Lawas, dan
3.
Onderafdeeling Mandailing en Natal (Mandailing dan Natal).
Pemerintahan
Hindia Belanda di Tapanuli adalah bagian dari pemerintah Hindia Belanda yang
menjajah Nusantara, ketika itu beribukota Batavia (kini Jakarta) dipimpin
seorang Gouverneur-Generaal (Gubernur-Jenderal) berkebangsaan Belanda.
Gubernur-Jenderal Belanda di Batavia ketika itu adalah wakil Raja Belanda dari
Den Haag, Negeri Belanda, yang ditugaskan mengurus tanah jajahan Belanda di seberang
lautan bernama Oost Nederlands Indie (ONI), atau Hindia Belanda Timur (HBT).
Raja Belanda masih memiliki lagi tanah jajahan seberang lautan lain bernama
West Nederlands Indie (WNI), atau Hindia Belanda Barat (HBB) yang terdapat di
Amerika Selatan yang dikenal dengan nama Suriname.
Belanda lalu
melakukan penelitian peta bumi (geografi) terhadap kediaman beragam puak suku-bangsa
Batak yang berada dibawah kekuasaan: “Gouvernement van Sumatra Westkust”; yakni
kawasan yang kini keberadaan: 1. Kab. Karo, 2. Kab. Simalungun, 3. Kab. Dairi,
4. Kab. Tapanuli Utara, 5. Kab. Tapanuli Tengah, 6. Kab. Tapanuli Selatan dan
Kab. Pulau Nias, dengan ibukotanya Sibolga.
Di permukaan
bumi, kawasan ini terletak: dari 00º 14’ hingga 03º 28’ Lintang Utara, dan 97º
4’ hingga 100º 10’ Bujur Timur. Dengan demikian Tanah Batak yang selama ini dinyatakan
orang Batak dengan ungkapan: “di hitaan”, jelas diketahui keberadaannya dalam koordinat
di permukaan bumi pada sebuah peta. Dari peta pemerintah Hindia Belanda ini lalu
diketahui orang tempat kediaman suku-bangsa Batak, yang awalnya dalam bahasa
Batak disebut “Tano Batak”, lalu menjadi “Tapanuli”; terletak di Utara pulau
Sumatera. Kawasan ini di Utara berbatasan dengan Aceh, di Timur berbatasan dengan
Tanah Melayu, di Selatan berbatasan dengan Sumatera Barat dan Riau Daratan, dan
di Barat berbatasan dengan Samudra Hindia, sebagaimana yang terlihat dalam peta Tanah Batak berikut.
Bendera Batak
Peta Tanah Batak
Peta Tapanuli Selatan
Adapun Tanah
Melayu adalah kawasan yang ditempati: 1. Kab. Langkat, 2. Kab. Deli Serdang, 3.
Kab. Asahan, dan 4. Kab. Labuhan Batu, yang oleh pemerintah Hindia Belanda saat
itu dinamakan: ‘Gouvernement van Sumatra Oostkust’ yang ibukotanya Medan.
Setelah pemerintah Hindia Belanda bertekuk lutut pada Jepang, lalu yang akhir
ini menyerah pada Sekutu di penghujung Perang Dunia ke-II, “Gouvernement van
Sumatra Westkust” berubah menjadi “Keresidenan Tapanuli”, dan “Gouvernement van
Sumatra Oostkust” beralih menadi “Keresidenan Sumatera Timur”. Kedua
keresidenan ini setelah kemerdekaini lalu bergabung menjadi “Propinsi Sumatera
Utara”, dan di-singkat “Sumut”, hingga kini.
Kehidupan masyarakat
di Tanah Batak menjalani perubahan menelusuri waktu me-nempuh zaman. Awalnya
perubahan berlangsung perlahan (evolusioner)berawal dari huta atau luhat digerakkan
dinamika kehidupan dalam rmasyarakat corak alami, yang menimbulkan kekuatan-kekuatan
pemersatu (asosiasi) dan pemecah (dissosiasi). Keku-atan disebut terakhir dapat
melanda kalangan warga yang mendiami sebuah luhat/huta menyebabkan sebagian warga
harus hijrah, atau bermigrasi, ke luhat/hua lain yang bersedia menerima. Namun
tidak jarang pertikaian timbul diantara para pengemban kekuasaan luha/huta
dengan para pengikut yang menampakkan corak fikiran yang tidak lagi sejalan.
Sopo godang ialah
satu-satunya pusat ilmu pengetahuan dan teknologi di luhat/huta ketika itu,
dimana para cendekiawan Bona Bulu berhimpun,
dan secara teratur menguji kecerdasan memecahkan persoalan hidup di kampung, dan
perekat komunitas keberadaan kelompok. Apa yang dipelajari anak-anak, kaum remaja,
orang-orang muda, para orang tua di kampong ketika itu: adat Batak, aturan
pergaulan, ketangkasan, dan bahasa. Juga menggeluti seni suara: musik, marende,
maralong-along, marsordam, martulila, mararbad (sejenis biola), margondang,
maruyup-uyup; seni tari: manortor, dan lainnya; mereka juga terlbat pembuatan
benda-benda kerajinan hingga dengan bangunan tempat berdiam dan bagas godang.
Mereka melakukan
kegiatan: belajar, mengajar, baca, tulis, aksara Batak. Getah kayu karumunting
berwarna hitam digunakan sebagai tinta, adapun kertasnya bamboo dikeringkan dan
kulit torop. Pustaka yang ada ketika itu buluh bersurat berisi 7 ruas. Seluruh
informasi perolehan cendekiawan desa dan masukan masyarakat luat/huta kemuian disimpan
di langit-langit sopo godang, untuk pertinggal (arsip), yang akan disi-mak lagi
manakala diperlukan.
Apabila perekat sosial dikemukakan
di atas tidak lagi mampu menyatukan masyarakat dalam kehidupan berkelompok di
Bona Bulu, perubahan timbul dipicu keputusan politik. Di tingkat luhat/huta keretakan
disebabkan tidak sejalannya fikiran keluarga pemegang tampuk kekuasaan; sedangkan
di tingkat warga lahan tempat bermukim yang tidak lagi dapat menopang kehidupan
oleh penduduk yang semakin padat. Terhadap yang akhir ini, sebahagian penduduk harus
meninggalkan kampung untuk mencari tempat pemukiman baru. Untuk yang akhir ini
mamungka huta (mendirikan kampung) adalah sebuah jalan keluar. Lainnya pindah ke
kampung berdekatan yang masih bersedia menerima, atau merantau meninggalkan
kampung halaman. Porang marugup-ugup antara Sutan Param-puan dari Padang
Garugur dengan Manga-raja Enda dari Panyabungan merupakan sebuah keputusan
politik yang diambil pengemban kekuasaan ketika itu, membuat banyak warga harus
bermigrasi meningalkan kampung menyeberangi Tor Sibuang Anak di punggung Bukit
Barisan tanah Mandailing.
Perubahan cepat (revolusioner) di
Tanah Batak disulut Kaum Paderi yang menyerbu masuk ke Tanah Batak guna mengislamkan masyarakat
Mandailing dan Angkola dengan kekerasan.
Para Raja Batak dan rakyat mereka saat itu memberikan perlawanan, karena ingin mempertahankan adat-istiadat dan
budaya warisan para leluhur. Pemerintah Hindia Belanda yang datang menggantikan kaum Paderi,
meneruskan perubahan cepat dalam masyarakat Batak dengan memperkenalkan: kerja
rodi (kerja paksa) membangun jalan dan jembatan, kewajiban para Raja dan rakyat
membayar belasting (pajak), dan diberlakukannya pemerintahan sentralistik di
Tanah Batak dipimpin seorang Residen berkebangsaan Belanda.
Meski kaum Paderi akhirnya terusir
dari Tanah Batak, akan tetapi agama Islam yang mereka sebarkan bertahan di
Mandailing, meluas ke Angkola, bajkan hingga tepian danau Toba di Utara. Di
fihak lain, pemerintah Hindia Belanda yang beragama Nasrani terus meluaskan jajahannya hingga ke seluruh
Tanah Batak, meski akhirnya terpaksa bertekuk lutut kepada Facist Jepang di
awal Perang Dunia II.
Dibekali pengetahuan warisan zaman
Napoleon Bonaparte dari Eropa: organisasi, administrasi, taktik perang, senjata
api, pengalaman menhadapi berbagai suku-bangsa di Nusantara, serdadu-serdadu Hindia
Belanda memang bukan tandingan bagi para Raja di Tanah Batak dan rakyatnya
ketika itu. Pemerintah Hindia Belanda memang men-datangkan banyak penderitaan
dan kesengsaraan kepada rakyat di Mandailing dan para Raja mereka dengan kewajiban
melakukan rodi, membayar belasing, dan lainnya, se-hingga pada pertengahan abad
ke-19 ditemukan banyak anak-anak pribumi yang merasa tertekan, meninggalkan kampung hijrah
ke daerah lain, seperti: Sumatera Barat, Tanah Deli, hingga ke semenanjung
Malaya.
Tidak hanya rakyat dan para
Raja Adat yang mendapat tekanan dari pemerintah Hindia Belanda; juga para
Demang dan Kepala Kuria yang menjadi ujung tombak pemerintahan Hindia Belanda itu sendiri tidak luput pula
dari kewajiban memenuhi sasaran (target) belasting yang telah ditentukan jumlahnya.
Di lain fihak, ada pula langkah
yang diambil pemerintah Hindia Belanda ketika itu yang terbukti kemudian mendatangkan
kemajuan terhadap kehidupan anak-anak negeri dan masyarakatnya di Tanah Batak, ialah:
“Pendidikan Barat”. Pada tahun 1850 pemerin-tah Hindia Belanda mendirikan “Sekolah
Gubernemen (Gouvernement School) pertama di Tanobato, tidak jauh dari Panyabungan.
Sekolah Gubernemen ini dinamakan juga “Sekolah Melajoe”, karena menggunakan “bahasa
Melajoe” dan “bahasa Batak” se-tempat. Langkah pemerintah Hindia Belanda ini mendatangkan
perubahan besar dalam masyarakat di Bona
Bulu, khususnya terhadap hari depan kehidupan anak negeri di Tanah Batak dari Selatan hingga Utara, bahkan melampaui perbatasannya.
Persahabatan Asisten Residen Alexander
Philippus Godon dengan Sutan Kumala, gelar Yang Dipertuan Hutasiantar telah membuat
Sati Nasution, gelar Sutan Iskandar, cucu yang disebut terakhir mendapat
kesempatan bersekolah di Negeri Belanda. Cucunya adalah anak bungsu Tinating
Nasution, Raja dari Pidoli Lombang, salah seorang murid sekolah di sekolah Tanobato
yang melanjutkan pelajarannya ke Kweekschool (Sekolah Goeroe) di Amsterdam dari
tahun 1857 hingga 1861. Sati Nasution mendapat ijazah “Hulpacte” (Akta Goeroe
Bantoe) yang diperlukan menjadi seorang guru sekolah pada ketika itu.
Sekembalinya di Mandailing,
namanya berubah menjadi “Willem Iskandar” (1840-1876). Ia lalu mendirikan “Sekolah
Normal” di Tanobato sejak tahun 1862 untuk mendidik anak-anak negeri. Ia berhasil
menulis prosa dan puisi yang menarik dalam Bahasa Batak logat Mandailing untuk
bacaan anak-anak di Tanah Batak, berjudul: “Siboeloes-Boeloes Siroemboek-Roemboek”
yang kemudian diterbitkan di Batavia tahun 1872. Adapun buku bacaan lain
ditulisnya: “Taringot Di Ragam-Ragam Ni Parbinotoan Ni Alak Eropa”; lalu anekdot:
“Barita Na Marragam”. Pada tahun 1874, Sati Nasution kembali ke Negeri Belanda
untuk melanjutkan pelajaran unuk mendapatkan “Hoofdacte” (Akta Kepala). Kepergian
Willem Iskandar ke Negeri Kincir Angin melanjutkan pelajaran menyebabkan Sekolah Normal di Tanobato harus ditutup oleh ketiadaan
pengajar.
Pada tahun 1883 pemerintah
Hindia Belanda membuka Kweekschool (Sekolah Goeroe) di Padang Sidempuan
dipimpin: Ch van Ophuijsen, seorang pendidik berbangsaan Be-landa. Pimpinan “Sekolah
Kweekschool” Padang Sidempuan ini lalu cepat terkenal di tanah-air ketika itu
oleh kegiatannya mengembangkan bahasa Melayu beraksara Latin, yang menjadi cikal
bakal lahirnya bahasa Indonesia. Buku-buku hasil karyanya kemudian digunakan di
sekolah-sekolah Melayu di seluruh Nusantara bahkan sampai ke Seme-nanjung Tanah
Melayu.
Para lulusan Sekolah Guru Padang
Sidempuan ini kemudian banyak menjadi guru-guru utama di sekolah-sekolah
Melayoe lain di Tanah Batak, dan menjadi kepala-kepala sekolah di tempat mereka
bertugas. Pemerintah Hindia Belanda kemudian terpaksa menutup sekolah guru Padang
Sidempuan ini tahun 1891, oleh kekurangan anggaran belanja.
Pada tahun 1920 pemerintah
kolonial Hindia Belanda lalu mendirikan “Hollands In-landsche School (HIS)”,
yakni Sekolah Dasar berbahasa Belanda yang pertama di Padang Sidempuan, di
ibukota Tanah Angkola, untuk mendidik anak-anak pribumi, putra dan putri,
berpengetahuan sekaligus lancar berbicara bahasa Belanda.
Pemerintah kolonial Hindia
Belanda lalu secara teratur mendirikan sekolah-sekolah untuk anak-anak negeri di
beragam tempat di Tapanuli Selatan, seperti: Kotanopan, Panyabungan, Huta
Nagodang, Maga, Tanobato, Natal, Gunungtua, Siabu, Sibuhuan, Si-pirok, Bunga
Bondar, Baringin, Sibolga, Batangtoru dan lainnya. Anak-anak pribumi dari berbagai
luhat/huta di Tanah Batak lalu berduyun-duyun datang memasuki sekolah-sekolah
yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan Pendidikan Barat
yang diperlukan.
Berbagai
bidang pengetahuan berhasil ditekuni putera-puteri anak bangsa di Tanah Batak, diawali jadi murid sekolah-sekolah Gubernemen bernama: Volks School (Sekolah
Rakyat) selama 3 tahun: kelas I, II, dan III, bahasa Melajoe dan Tulis Latin.
Pendidikan ini lalu dilanjutkan dengan School (Sekolah Sambungan) 2 lamanya tahun
untuk kelas IV dan V; Hollandsch-Inlandsche School (HIS), atau Sekolah Dasar
berbahasa Belanda; Europeesche Lagere School (ELS), atau Sekolah Rendah Eropa. Lalu
dilanjutkan jadi pe-lajar ke Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), atau Sekolah Menengah Tingkat Pertama berbahasa
Belanda, setara Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ada pula Am-bachts Leergang sekolah pertukangan
berbahasa daerah. Ambatchtsschool sekolah per-tukangan berbahasa Belanda, setara
Sekolah Teknik Pertama (STP). Kemudian
menja-di siswa: Algemene Middelbare School (AMS), atau Sekolah Menengah
Atas (SMA); dan Hoogere Burger School (HBS), atau Sekolah Tinggi Warga
Masyarakat, yang berbahasa Belanda. Terdapat juga kursus pendidikan guru
bernama Kewekeling (Guru Sekolah Dasar), Sekolah Guru Hollands Inlandsche
Kweekschool (HIK) atau Sekolah Guru Hindia Belanda bahasa Belanda; terbagi ke-dalam:
Onderbouw (Bagian Bawah): untuk menjadi Guru Sekolah Melayu, dan Bovenbouw
(Bagian Atas): untuk menjadi Guru HIS. Lainnya
Di Tanah Jawa terdapat Middelbare
Landbouw School (MLS), atau Sekolah Pertanian Menengah bahasa Belanda di Bogor;
Koninklijke Wilhelmina School (KWS), atau Sekolah Teknik Menengah bahasa
Belanda di Batavia; School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA), atau
Sekolah Dokter Jawa terdapat di Batavia; Nederlandse Indische Artsen School (NIAS)
juga Sekolah Dokter Jawa tetapi di Surabaya, Middelbare Handels School (MHS),
atau Sekolah Menengah Dagang di Batavia. Terakhir
menjadi mahasiswa beragam Perguruan Tinggi di Tanah Jawa, antara lain: Rechts
Hoge School (RHS), atau Sekolah Tinggi Hukum; Geneeschekundige Hoge School (GHS),
atau Sekolah Tinggi Kedokteran) di Batavia; THS (Technische Hoge School), atau
Sekolah Tinggi Teknik) Bandung. Selain di Tanah Jawa, terdapat juga anak-anak
Batak yang belajar di negeri Belanda dan
Eropa lainnya saat itu.
Selain pendidikan yang diusahakan
pemerintah Hindia Belanda, di Tanah Batak terdapat juga pendidikan yang diselenggarakan
beragam yayasan dilola anak negeri di Tapanuli Selatan, baik yang berlatarbelakang
agama Islam, seperti madrasah dan lain sebagainya, begitu pula yang berlatar
belakan agama Keristen Protestan (Rheinische Missiongesel-schaft) dari Bremen, Jerman,
dan lainnya ketika itu.
Hasil Sensus di Tapanuli
Selatan memasuki zaman kemerdekaan memperlihatkan ke-berhasilan yang berhasil dicapai
anak bangsa di Tanah Batak sebagai berikut:
DATA STATISTIK
Tahun
|
1980
|
1990
|
2000
|
2010
|
A. Jumlah Penduduk (orang)
|
754.961
|
954.245
|
-
|
-
|
B. Kepadatan (orang per km2 )
|
42
|
50
|
-
|
-
|
C. Agama
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Islam %
|
92,50
|
92,57
|
-
|
-
|
Nasrani/Protestan %
|
6,90
|
6,90
|
-
|
-
|
Katholik %
|
2,90
|
0,35
|
-
|
-
|
Lainnya %
|
. 0,18
|
0,08
|
-
|
-
|
D. Pendidikan
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Belum Sekolah %
|
-
|
18,0
|
-
|
-
|
Tidak Tammat SD %
|
-
|
15,0
|
-
|
-
|
Tammat SD %
|
-
|
44,8
|
-
|
-
|
Tammat SMP %
|
-
|
14,4
|
-
|
-
|
Tammat SMA %
|
-
|
7,6
|
-
|
-
|
Perguruan Tinggi %(Tammat/Tidak Tammat)
|
-
|
0,2
|
-
|
-
|
Perlu dicatat, perolehan sensus
di atas masih belum menyertakan keturunan suku-bangsa Batak yang berdiam di
perantauan, baik dalam negeri maupun mancanegara.
Pemerintahan Hindia Belanda yang
awalnya masuk ke Tapanuli tahun 1833, lalu harus hengkang meninggalkan Tanah
Batak tanggal 28 Maret 1942 dengan menyerahnya Generaal-Majoor (Mayor Jenderal)
Overtrakker dan rekannya Gozenson pada serdadu Fascist Jepang di awal Perang
Dunia ke-II, di perbatasan Sumatera Utara dengan Aceh, tidak jauh dari
Kotacane. Keperkasaan Fascist Jepang ketika itu berhasil menghalau pe-merintah
Hindia Belanda keluar meninggalkan Tanah Batak, sehingga penjajahan Be-landa di Tapanuli berjalan 109 tahun
lamanya.
Setelah pemerintah
Hindia Belanda runtuh, Jepang lalu masuk ke Tanah Batak dengan gagasan membangun:
Greater East Asia Co-Prosperity (Per-Semakmu-ran Asia Timur Raya) di Asia mulai:
Korea, Cina, Indocina (Vietnam, Laos, dan Kamboja), Semenanjung Melaya, Myanmar
(Birma), Filipina, hingga bekas tanah jajahan Hindia Belanda. Pemerintah Fascist
Jepang yang menggantikan Belanda lalu meneruskan perubahan cepat di Tanah Batak
dengan cara militer, perilaku kasar, dan kekejaman. Jepang lalu memindahkan kantor
Residen Tapanuli dari Sibolga ke Tarutung guna menghindarkan serbuan sekutu
dari laut.
Saudara Tua dari Negeri Matahari Terbit ini
tak ayal lagi memperkenalkan istilah ja-batan dalam pemerintahan yang setahun
jagung lamanya di Tanah Batak, dan tidak pula kalah sentralistiknya dari pemerintahan
Hindia Belanda. Tanah Batak dan Nusantara yang direbutnya dari Hindia Belanda langsung
dijadikan bagian dari Kerajaan Jepang yang
berpusat di Tokyo. Tanah Batak dan rakyatnya, yang awalnya berorientasi ke Barat/
Belanda, oleh pemerintah Fascist Jepang dipaksa melakukan “keréi” ke arah
matahari terbit untuk berorientasi ke Negara Matahari Terbit.
Istilah
Resident peninggalan Hindia Belanda di Tanah Batak, langsung ditukar Jepang dengan
Cokan. Begitu juga Asistent Resident yang memimpin Afdeeling diganti dengan Gunseibu. Controleur yang memimpin
Onderafdeeling dilenyapkan samasekali, akan tetapi Demang yang memimpin District
ditingkatkannya jadi pemimpin Onderafdeeling dan disebut Gunco. Asisten Demang
yang memimpin Onderdistrict ditukar dengan Huku Gunco. Istilah Kepala Kampung di
Tanah Batak ditukari menjadi Kuco, sedangkan Kepala Polisi dinamakannya Keibi.
Dalam zaman pemerintahan
Fascist Jepang, administrasi di Tanah Batak warisan pemerintah Hindia Belanda masih
terus dijalankan, hanya kini segala upaya ditujukan untuk memenangkan Perang
Asia Timur Raya kawasan Pasifik. Itulah sebabnya mengapa di Tanah Batak perlu
segera dibentuk barisan-barisan Zikedan dan Bogodan di hampir setluruh kampong untuk
merekrut orang-orang muda untuk dijadikan Heho (pembantu prajurit Jepang) dan
romusha (pekerja Jepang barisan belakang). Selama kehadirannya di Tanah Batak yang
singkat, serdadu-serdadu Jepang menyita tidak sedikit harta benda masyarakat dan
hasil pertanian dari penduduk setempat.
Sebagaimana pemerintah Hindia
Belanda, pemerintah Fascist Jepang juga akhirnya terusir keluar meninggalkan
Tanah Batak, setelah dua bom atom milik Amerika Serikat dijatuhkan Sekutu di:
Hiroshima dan Nagasaki, yang membuat seluruh perlawanan pasukan Jepang dalam perang
Asia Timur Raya tahun 1945 terpaksa dihentikan. Meski pemerintah Fascist Jepang
telah lenyap, namun masyarakat di Tanah Batak masih terus menjalani perubahan cepat, kini oleh kaum pergerakan
NRI (Negara Republik Indonesia) yang melacarkan revolusi untuk menentang kebalinya
serdadu-serdadu Belanda yang kembali ingin
menjajah di Tanah Batak.
Banyak janji yang telah dilotarkan
pemimpin pergerakan ketengah-tengah masyarakat di Tapanuli ketika itu: mulai tidak
akan berhasilnya Belanda menjajah di Tanah Batak untuk yang kedua kalinya, hilangnya
kemiskinan dari kampung-kampung di seluruh Tanah Batak, hingga kesejahteraan hidup
rakyat Batak dalam alam kemerdekaan.
Selama
perjuangan kemerdekaan berlangsung, kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan
Belanda dan Jepang, lalu diambil alih kaum pergerakan. Di Tapanuli Selatan masih terdapat daerah-daerah yang belum jatuh ke
tangan Belanda dalam agresi militer Belanda ke-I dan ke-II. Daerah-daerah yang
belum berhasil diduduki Belanda ini dengan sendirinya menjadi wilayah NRI saat itu,
lalu dijadikan 3 (tiga) kabupaten wilayah NRI, di Tapanuli Selatan, masing-masing:
1. Kabupaten
Angkola Sipirok, ibukotanya Padang Sidempuan.
2. Kabupaten Padang Lawas, ibukotanya
Gunung Tua.
3. Kabupaten
Mandaiing Natal, ibukotanya Panyabungan.
Pembagian ini bertujuan guna selalu
menghadirkan pemerintahan NRI di Tanah Batak, manakala sebuah kabupaten jatuh
ke tangan Belanda dalam agresi militer Belanda ke-II yang tengah berjalan, maka
salah satu kabupaten yang belum jatuh ke tangan Belanda akan dengan sendirinya
menjadi pusat pemerintahan NRI yang masih setia mem-pertahankan kemerdekaan
bangsa.
Memasuki alam kemerdekaan,
proklamasi yang dikumandangkan di Jakarta tanggal 17 Agustus 1945, baru dapat dirayakan
di Tarutung tanggal 15 September 1945, oleh khabar yang terlambat tiba di Tanah Batak. Ini disebabkan
langkanya sarana transportasi yang menuju Tapanuli, juga tidak adanya sarana
komunikasi untuk mengirimkan berita saat itu. Untuk menghindarkan melimpahnya “revolusi
sosial” yang sedang berkecamuk di Sumatera
Timur melimpah ke Tanah Batak yang dapat menimbulkan kerusuhan di tempat akhir
ini, oleh Dr. Ferdinand Lumban Tobing, selaku Resident NRI pertama di Tapanuli,
dikeluarkan 2 (dua) keputusan penting yang diberlakukan di Tanah Batak, setelah
terlebih dahulu dibahas oleh DPR setempat, yakni:
Pertama: No: 274 tertanggal 14
Maret 1946, dan
Kedua : No.: 1/ D. P.T tertanggal 11 Januari 1947.
Adapun ringkasan isi surat keputusan
Residen NRI di Tapanuli ketika adalah sebagai-mana dibawah ini:
1.
Semua Raja di Tanah Batak apapun jabatan yang diemban,
dengan surat keputu ini diberhentikan
dengan hormat dengan ucapan terimakasih.
2. Para pejabat yang menggantikan, akan dipilih
secara demokratis.
3. Adat
Batak yang selama ini digunakan, tidak lagi mengatur segala hal yang berhu-
bungan dengan pemerintahan wilayah public,
kini beralih ke pergaulan hidup ma-
syarakat perhelatan adat Batak bersifat
privat semata.
Para Raja dan rakyatnya di
Tanah Batak awalnya berharap agar kemerdekaan bangsa Indonesia akan memulihkan kembali
hak adat ranah publik yang mereka nikmati selama ini, sebagaimana yang telah diatur
dalam Adat Batak yang berjalan turun-temurun. Akan tetapi dengan turunnya
keputusan Residen Tapanuli diatas, hak-hak adat para pengemban kekuasaan lalu lenyap
dalam seketika, dan menjadi demisioner. Karena tidak ada lagi yang dapat mereka
perbuat, para Raja dan rakyatnya terpaksa menerima ketentuan yang diberlakukan surat keputusan Residen pertama
di Tanah Batak itu.
Dalam alam kemerdekaan, berdasarkan
surat keputusan Residen Tapanuli no.1413 ter-tanggal 30 Agustus 1947, setelah terlebih
dahulu dibahas dalam Badan Pekerja DPR Tapanuli bersidang tanggal 15 Juli 1947,
Keresidean Tapanuli lalu dibagi kedalam 4 (empat) Kabupaten, mengikuti model Jawa
Tengah yang dipimpin seorang Bupati, ma-sing-masing:
1.
Kabupaten Sibolga
2. Kabupaten Tarutung (atau Kabupaten
Tanah Batak)
3. Kabupaten Padang Sidempuan, dan
4. Kabupaten Nias.
Dengan demikian, pemerintahan NRI
di Tanah Batak menjadi bagian dari Pemerintah NRI yang berkedudukan di Jakarta.
Hal ini tidak asing lagi bagi masyarakat di Tanah Ba-tak, karena pemerintah
Hindia Belanda, begitu pula pemerintah Fasist Jepang yang kemudian menggantikan,
telah terlebih dahulu melakukan pemerintahan sentralistik yang sama atas Tanah
Batak, dalam zaman penjajahan masing-masing.
Pembagian Tanah Batak dikemukakan
diatas ternyata belum dapat berjalan, oleh timbulnya Agresi Militer Belanda
ke-II. Maka dengan turunnya ketetapan Gubernur Propinsi Sumatera Utara no.1,
tertanggal 14 Desember 1948, dan Peraturan Pembentukan Kabupaten-kabupaten di
daerah Tapanuli no.19/Pem/Dpdla/50 tanggal 18 Januari 1950, nama-nama Kabupaten
di Tanah Batak disebutkan sebelumnya lalu diubah menjadi:
1. Kabupaten Tapanuli Utara
2. Kabupaten Tapanuli Tengah
3. Kabupaten Tapanuli Selatan, dan
4. Kabupaten Nias.
Dalam perjalanan waktu
Kabupaten-kabupaten yang terdapat di Tapanuli kemudian berkembang dari 4 (empat) menjadi 7 (tujuh), masing-masing:
1. Kabupaten Karo
2. Kabupaten Dairi
3. Kabupaten Simalungun
4. Kabupaten Tapanuli Utara
5. Kabupaten Tapanuli Tengah
6. Kabupaten Tapanuli Selatan
7. Kabupaten Nias.
Setiap kabupaten lalu dibagi
menjadi kecamatan yang dipimpin oleh seorang Camat, sebagaimana diatur dalam
sidang DPRD tingkat I Sumatera Utara bulan Maret 1950. Kemudian, hasil keputusan DPRD pada bulan
Maret 1992, menyebabkan kabupaten-kabupaten yang ada di Tapanuli Selatan harus
dibagi 3 (tiga) menurut jalur budaya kawasan itu, dan sebuah Kotamadya;
sehingga daerah tingkat II di lingkungan Tapanuli Selatan yang awalnya terdiri
dari 7 (tujuh) Kabupaten lalu berkembang menjadi 10 (sepuluh) Kabupaten, masing-masing:
1. Kabupaten Karo
2. Kabupaten Dairi
3. Kabupaten Simalungun
4. Kabupaten Tapanuli Utara
5. Kabupaten Tapanuli Tengah.
Kabupaten Tapanuli Selatan ialah
yang terbesar dari semuanya dengan luas lahan 18.896,50 km2. Kabupaten
yang awalnya terdiri dari 17 (tujuh belas) kecamatan, ini kemudian menurut
jalur budaya dipecah menjadi 3 (tiga) kabupaten baru dengan jumlah kecamatan sebagaimana
yang tercantum dibawah nomor Kabupaten-kabupaten: 6, 7, dan 8, dibawah ini.
6. Kabupaten Angkola Sipirok, ibukotanya Sipirok
1. Kecamatan Padang Sidempuan Utara
2. Kecamatan Padang Sidempuan Timur
3. Kecamatan Padang Sidempuan
Selatan
4. Kecamatan Padang Sidempuan Barat
5. Kecamatan Batang Toru,
ibukotanya Batang Toru
6. Kecamatan Sipirok, ibukotanya
Arse
7. Kecamatan Batang Angkola,
ibukotanya Pintu Padang.
8. Kecamatan Dolok, ibukotanya
Sipiongot
9. Kecamatan Saipar Dolok Hole,
denga ibukota Sipagimbar.
7. Kabupaten Padang Lawas, ibukotanya Sibuhuan
1. Kecamatan Sosa, ibukotanya
Pasar Batu.
2. Kecamatan Barumun, ibukotanya
Sibuhuan.
3. Kecamatan Barumun Tonga,
ibukotanya Binanga.
4. Kecamatan Sosopan, ibukotanya
Sosopan.
5. Kecamatan Padang Bolak,
ibukotanya Gunung Tua.
8.
Kabupaten Mandailing Natal (Madina),
ibukotanya Panyabungan.
1. Kecamatan Natal, ibukotanya
Natal.
2. Kecamatan Batang Natal,
ibukotanya Muara Soma.
3. Kecamatan Kotanopan, ibukotanya
Kotanopan.
4. Kecamatan Muara Sipongi,
ibukotanya Muara Sipongi.
5. Kecamatan Panyabungan,
ibukotanya Panyabungan.
6. Kecamatan Siabu, ibukotanya
Siabu.
9. Kabupaten Nias
10. Kotamadya Padang Sidempuan
Sebuah district dipimpin
seorang Demang pada zaman pemerintah Hindia Belanda, setelah kemerdekaan awalnya
masih diteruskan, tetapi kemudian diubah menjadi kewe-danaan dan dipimpin
seorang Wedana. Akan tetapi Onderdistrict yang dipimpin seorang Asisten Demang
dihentikan. Selain dari itu Hakuriaan buatan Belanda lalu diganti menjadi
Negeri dan dipimpin seorang Kepala Negeri; akan tetapi pada tahun 1946 diubah lagi
menjadi Dewan Negeri. Pada tahun 1965 Kewedanaan dan Negeri dihapuskan samasekali,
sehingga kampung yang dipimpin seorang Kepala Kampung langsung berada dibawah
Kecamatan.
Dengan demikian pemerintahan di
Tanah Batak, awalnya berdiri sendiri atau otonom dan dijalankan sesuai adat
Batak; dalam zaman penjajahan Hindia Belanda diubah menjadi bagian dari
pemerintah Kerajaan Belanda yang berpusat di Den Haag; kemudian dalam zaman Fascist
Jepang diubah menjadi bagian dari pemerintah Kerajaan Jepang yang berkedudukan
di Tokyo; dan dalam zaman kemerdekaan Republik Indonesia menjadi bagian dari
pemerintah NKRI yang berpusat di Jakarta.
Keempat perubahan cepat
(revolusioner) yang telah melanda suku-bangsa Batak, mulai kampung halaman hingga
perantauan telah membuat masyarakat suku bangsa ini menerima kenyataan, bahwa
pemerintahan tradisionil dijalankan menurut adat Batak yang berjalan di Bona Bulu
silam, demikian pula dalam zaman pemerintahan Hindia Belanda, selanjutnya dalam
zaman pemerintahan Fascist Jepang, dan dalam alam ke-merdekaan Republik
Indonesia harus berpindah dari ranah publik ke lingkungan pergaulan hidup masyarakat
Batak aneka ragam perhelatan.
---- Selesai -----